Selasa, 30 Agustus 2016

Terikat Masa Lalu?

Terbayang dan teringat semua hal yang terjadi pada masa lalu kadang membuatku sedih dan haru, tak kunjung habis berada dalam penyesalan. Namun, sekarang aku mengerti bahwa hidup ini memang harus terjadi, tetap harus berlangsung. Kesedihan masa lalu kuanggap sebagai sejarah yang menguatkanku. Ini tidak mudah, perlu perjuangan. Aku tidak bermaksud menghilangkannya dari jiwaku. Aku hanya ingin mengingatnya sebagai suatu pengalaman, nuansa yang membuat aku merasa berharga. Semakin sulit masa laluku, semakin aku menyadari bahwa aku sebenarnya kuat, karena bisa bertahan hingga saat ini. Terima kasih, Tuhan.

Kupejamkan mataku, kulihat diriku tersenyum, begitu damainya. Diri kecilku penuh harap. Dia ada di dalam diriku, menerima apa yang dia ingin terima. "Hai diri kecilku, tetaplah tenang. Damailah engkau di dalam batinku. Aku sudah menang. Aku sudah menang! Masa depan pasti indah! Aku akan selalu menjagamu, melindungimu. Terima kasih, engkau telah bertahan demi aku. Sekarang aku sudah tenang, menerima kenyataan, dan ikhlas demi kebahagiaan dan masa depanku." 

Ya Tuhan, terima kasih.

"Hai masa lalu, seringkali aku merasa tak dapat melepaskanmu. Entah kenapa, begitu tak rela. Aku seperti membohongi diriku sendiri, pura-pura bahagia, seolah-olah masa laluku baik-baik saja. Dada ini tak pernah lega. Ada yang menyangkut. Ada yang tak beres. Aku tak mau menipu diriku. Aku memang tidak bahagia dan aku ingin tahu bagaimana rasanya. Apa yang kuanggap bahagia selama ini ternyata hanya rasa senang. Untuk apa sih aku hidup?" 

Pertanyaan yang tak pernah terjawab. Untuk apa juga harus ada pertanyaan ini. Aku semakin tidak mengerti melihat orang lain hidupnya kok enak. Apa benar itu rasa bahagia yang sesungguhnya? Atau mereka juga sebenarnya mengalami hal yang sama dengan apa yang kurasakan? Bila bisa memilih, aku ingin berada di keluarga yang baik, punya orang tua yang sempurna.

Melihat orang lain yang lebih beruntung daripada aku, aku merasa seperti anak tiri kehidupan. Mengapa aku harus ada? Aku ingin merasa dibutuhkan. Lebih dari itu aku ingin sekali bisa merasa berguna. Siapakah yang butuh aku? Benar-benar butuh aku? Apakah benar-benar ada orang seperti itu, orang yang menggantungkan dirinya kepadaku? Mungkin hal ini yang bisa membuatku seolah-olah tegar menghadapi hidup ini. Capek juga kalau hidup untuk diri sendiri terus. Tapi, tujuan hidup ini sebenarnya untuk apa sih? Kok kehampaan ini tiada usai? Apa yang harus benar-benar kulakukan agar hanya ada kedamaian di hati? Tuhan, tolong jawab. Aku tahu Engkau menciptakan aku dengan sebuah tujuan, tapi apa?

Jeritan ini tidak akan pernah usai. Bisakah seseorang hadir dalam hidupku untuk menjawab pertanyaan ini? Aku berharap dia akan mengatakan bahwa aku ini penting baginya. Tapi ini sungguh konyol, aneh sekali, apa ini benar-benar kebahagiaanku? Bahkan saat sedang membaca buku ini, aku benar-benar merasa tidak tahu apa yang benar-benar kuinginkan.

Inilah diriku yang sesungguhnya. Lebih baik begini daripada pura-pura bahagia.

Aku ingin benar-benar bisa merasa bahagia. Bagaimana sih rasanya?

Tapi, apakah bahagia itu memang benar-benar perlu? Atau aku juga sudah tertipu pengaruh banyak orang bahwa hidup itu harus bahagia?

Bolehkah aku hidup tanpa bahagia, agar aku lebih bisa menerima diri dan tidak lagi mempertanyakan ketidakbahagiaanku ini sebagai suatu masalah?

Mungkin inilah jawabannya:

Aku ingin belajar tetap tenang dalam ketidakbahagiaanku. Bila memang kebahagian itu benar-benar ada dan aku tidak layak mendapatkannya, baiklah kalau begitu. Aku berusaha menikmati ketidaklayakanku ini.

Tapi jujur, aku akan lebih nyaman bila ternyata benar dugaanku bahwa kebahagiaan memang tidak harus ada.

Ini sangat menenangkan jiwaku. Tidak terlalu menuntut diri untuk bahagia karena memang tidak perlu.

Apakah aku sekarang sudah tenang?

Atau pura-pura tenang?

Apa lagi ini?

Tenang?

Kenapa mulutku mengucapkan tenang?

Apa bedanya tenang dan bahagia?

Tambah sulit saja. Tapi kok kayaknya kata tenang lebih nyaman aku dengar. Apakah aku sedang membutuhkan kata tenang sekarang, lebih daripada suatu kebahagiaan yang kudambakan dan tak pernah datang?

Apakah aku ingin tenang?

Seperti apa rasanya tenang?

Apakah seperti berhenti berharap untuk bahagia?

Seperti yang kurasakan sekarang, tidak terlalu berharap untuk bahagia lagi. Aku merasa tenang, tanpa pertanyaan lagi. Ternyata selama ini aku terganggu oleh sebuah pertanyaan hampa yang terus-menerus terngiang.

"Mengapa aku tidak bahagia?"

"Bagaimana agar aku bisa bahagia?"

Sekarang aku mengerti dan memutuskan untuk tidak bahagia saja. Mungkin bahagia tidak terlalu penting lagi bagiku sehingga aku bisa tenang, tidak terikat oleh kebahagiaan yang tadinya kukejar-kejar.

Jawaban ini sungguh aneh. Kutemukan jawaban yang sangat aneh. Dengan tidak mengejar kebahagiaan, justru jiwaku menjadi lebih tenang, tidak lagi berteriak untuk menuntut kebahagiaan. Aku memutuskan tidak terlalu memusingkan diri tentang ketidakbahagiaan. Toh aku tetap hidup sampai sekarang.

Aku lebih tenang sekarang. Tenang tanpa pertanyaan. Mungkin ketenangan adalah satu-satunya perasaan yang benar-benar ingin kurasakan.

Dan aku merasakan damai sekali, tentram sekali, sangat tenang.

Terima kasih, Tuhan.. dan kehampaan ini pun berlalu, berganti dengan jiwa yang damai.

Tak mau lagi bertanya. Cukup jalani saja semuanya.

Calm ending. Selamat tenang yaa..

Semoga percakapan 'aneh' ini dapat memberi Anda kekuatan batin dalam menghadapi hidup ini.

:)


Disadur dari buku Pemulihan Jiwa 7 karya Dedy Susanto

Minggu, 07 Agustus 2016

Filosofi dan Logika

Menempuh jalan yang panjang dan penuh dengan likunya
Egoku egomu mengajar kita tuk berhenti sejenak

Fatamorgana jalan kehidupan
Selami arti makna yang tersimpan di relung jiwa

Aku, kamu, dan logika kita, mungkin memang berbeda
Aku, kamu, dan cerita kita, ditemukan dalam kasih sayang semesta
Kurnia kita

Katakan padaku filosofi apa yang akan kau selami
Amarah dan dendam tak bisa lagi untuk kita warisi