Selasa, 16 Oktober 2012

Ikhlas, Berpikir Positif, dan Introspeksi Diri

Ada seorang teman bertanya tentang sebuah ketulusan, persahabatan, dan cinta.

Ketika melihat sahabat kita berbahagia, patutlah kita sebagai teman yang paling dekat dengannya turut merasakan bahagianya. Ketika sahabat bersedih, sepantasnya kita sebagai kerabatnya ikut menanggung perih. Tapi, ketika rasa empati yang seharusnya ada malah terjadi sebaliknya, bagaimana? Bagaimana kita menghapus rasa iri hati kepada orang lain ketika orang itu mendapat kesuksesan, padahal dalam hati tak ingin memiliki penyakit hati, tapi perasaan buruk itu selalu saja muncul? 
“Setiap anak Adam tidak luput dari kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah mereka yang bertaubat.” (HR Tirmidzi).

Aku tak akan membicarakan tentang indahnya memaafkan saat ini, tapi aku sekedar mencoba sedikit mengkaji tentang hadist tersebut dari sudut pandangku terkait kasus seorang teman tadi. Kawan, tak ada satu manusia pun yang sempurna di dunia ini. Jadi jangan pernah mengharapkan bahwa aku, engkau, atau siapa pun akan bersikap dan berkata selalu benar. Setiap harinya, di setiap jam, menit, bahkan detik, bisa jadi kita melakukan kesalahan, baik disadari maupun tidak. Berikut juga tentang rasamu. Melihat orang lain, apalagi saudara kita, ketika mendapatkan keberhasilan di atas kegagalan kita, tak dipungkiri ada sedikit/banyak rasa iri. Rasa iri pastilah ada. Wajar sebagai manusia. Tapi, apakah rasa iri harus terus-menerus kita biarkan dalam hati? Tidak. Mungkin awalnya berat menerima, tapi sekali lagi, berpikir positiflah. Mungkin kegagalan ini memang karena usaha kita yang belum memadai. Aku takkan mengatakan kegagalan adalah awal kesuksesan. Setiap kegagalan yang kita dapatkan, biarkan menjadi pelajaran saja, dan berpikir untuk memperbaikinya di masa mendatang. Sebagai manusia, kita hanya boleh iri dalam dua hal, yaitu pertama iri dalam hal ilmu yang bermanfaat dan kedua iri dalam hal harta yang dikeluarkan di jalan ALLAH. Istighfar. Kata-kata lazim yang seharusnya kita kretek setiap waktu dalam hati. Seberapa banyak kali kita menyebutnya tak berarti. Biarkan tak berbatas. Astaghfirullahal’adzim… lebih aman mengucapkannya berkali-kali. Mungkin ini salah satu cara menenangkan diri. Memang tak semua orang bisa melakukannya, tapi tak ada salahnya mencoba mendekatkan diri pada ALLAH dengan cara berucap dzikir-dzikir sederhana seperti ini.

Ketika seorang kerabat dalam keadaan futur sehingga diri menjadi kesal karenanya, apa yang harus kita lakukan untuk menghapusnya? Seperti pertanyaan sebelumnya hanya berbeda kondisi. Kehidupan manusia itu seperti roda yang selalu berotasi. Ada saatnya manusia berada di atas, dan ada saatnya manusia berada di bawah. Ada saatnya keimanan seseorang berada di puncaknya, ada saatnya di mana keimanannya melemah. Entah karena suatu hal. Mungkin saat ini dia sedang memiliki masalah, atau bisa jadi terpengaruh oleh lingkungan sehingga membuat perilakunya berubah. Intinya, tidak ada salahnya mencoba berbasa-basi, menanyakan masalah yang sedang dihadapi saat ini, atau jika tidak, biarkan dia dengan sikapnya saat ini hingga akhirnya kembali seperti sebelumnya. Tak ada yang mampu mengartikan isi hati manusia. Kadang lisan mengatakan baik-baik saja, belum tentu hati dalam keadaan baik. Biarkan dia tenang dengan pikirannya. Jika hati sudah terlanjur kesal dengan sikap futurnya, alangkah lebih baik jika kita menghindari pertemuan untuk sementara waktu. Jangan sampai suasana hati yang tidak baik menjadikan sikap kita menjadi tidak baik dan akhirnya menimbulkan permusuhan.

Lalu, tentang hasil belajar yang kadang tak lebih memuaskan daripada mereka yang hanya berusaha sekedarnya? Salahkah perasaan kesal terhadap mereka? Kawan, bukankah belajar juga merupakan salah satu bentuk ibadah kita kepada ALLAH? Bukankah kita belajar juga untuk mendapatkan ridho-Nya? Atau, apakah belajar kita semata-mata hanya untuk mengejar nilai yang takkan ada habisnya menjadi persoalan? Atau, bisa jadi, tanpa kita tau, mereka lebih keras berjuang daripada kita? Secara pribadi, saat ini, sebagai seorang penuntut ilmu, mungkin nilai adalah tujuan utama. Tapi, entah bagaimana caranya, aku berusaha untuk berpikir positif. Sekali lagi berpikir positiflah. Mungkin tak sekarang, tapi aku yakini bahwa apa yang telah kita tanam pasti akan kita panen hasilnya. Mungkin tak sekarang, mungkin besok, lusa, minggu depan, tahun depan, atau mungkin di akhirat nanti, entah kapan. Seberapa besar perjuangan kita, biarkan ALLAH saja yang menilai. Mungkin ini terlalu naïf. Tapi apa yang bisa kita perbuat dengan kenyataan seperti itu. Kita tak mungkin hanya kesal, pesimis, dan terdorong untuk berbuat curang seperti mereka, kan? Yang bisa kita lakukan hanya mencoba melakukan yang terbaik. Just it.

Jangan pernah menyerah dengan apa yang sudah kita alami selama ini, Kawan…

Hidupmu indah bila kau tau jalan mana yang benar… Harapan ada jika kau percaya…

Allahu'alam bish showab...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar